Kamis, 11 Desember 2008

Fiqh Tanah

FIQH TANAH
Batas Hak Kepemilikan antara Rakyat dan Negara atas Tanah
Ridwan, M. Ag.
A. Abstrak

Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas harta benda yang lainya dalam konteks yuridis maupun etika sosial haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang di dalamnya juga harus mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat sosial. Kebebasan seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain baik secara individual maupun kelompok. Dalam konteks ini telah diatur dalam hadis Nabi tentang fungsi-fungsi sosial yang melekat pada hak milik atas tanah dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan orang lain dan public sphare (ruang publik). Dalam kaitan dengan relasi personal dan sosial di tengah-tengah masyarakat, persoalan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya juga harus mempertimbangkan kepentingan orang lain
Islam memandang negara sebagai institusi yang mengelola masyarakat suatu negara. Atas dasar inilah maka Islam memberikan hak sekaligus kewajiban kepada institusi tersebut untuk mengatur relasi antar individu dan individu dengan masyarakat serta hubungan individu, masyarakat dengan negara. Dalam hal pengaturan fungsi-fungsi sosial tanah, pemerintah (imam) mempunyai otoritas untuk membuat regulasi terkait dengan tanah, untuk mengatur dan menata penggunaan tanah untuk menciptakan kemaslahatan umum. Otoritas pemerintah membuat regulasi pertanahan didasarkan pada hak yang dimiliki oleh pemerintah yaiu hak iqtha yaitu hak memberikan lahan pada pihak lain baik sebagai hak milik atau hak memanfaatkan saja dan hima’ yaitu otoritas untuk menetapkan tempat lindung sebagai public sphare untuk kemaslahatan bersama. .(kata kunci :Tanah, Hak milik, fungsi sosial, regulasi, iqtha’, hima’, public sphare, kepentingan umum)

B. Pendahuluan

Tema kajian tentang pertanahan dalam diskursus hukum Islam (fiqh) kurang mendapat perhatian dari pemikir hukum Islam dan ummat Islam pada umumnya. Padahal persoalan yang muncul diseputar pertanahan merupakan problem yang sering kita saksikan khususnya sengketa tentang status tanah ataupun penggunaan atas tanah yang melibatkan sengketa dalam relasi individual, antar kelompok sosial ataupun sengketa tanah antara rakyat dengan penguasa negara (pemerintah). Di Indonesia misalnya, fenomena mogok makan dan menjahit mulut yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tanah dan tempat tinggalnya dilalui oleh saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet) PLN yang menuntut ganti rugi kepada negara merupakan contoh konkrit adanya sengketa tentang tanah antara rakyat dan pemerintah terkait dengan soal tanah. Contoh lain yang menggambarkan sengketa adalah kasus pembangunan waduk Nipah yang menyisakan sengketa antara rakyat yang ingin mempertahankan rumahnya agar tidak digusur oleh pemerintah.
Mengkaji tentang tanah dalam Islam sudah barang tentu akan berkaitan erat dengan persoalan dasar yuridis, etis-filosofis dan fungsi sosiologis dari tanah yang harus dicari sandaran normatifnya dari sumber otoritatif dalam Islam yaitu al-Qur’an, Hadits dan juga pendapat para ulama fiqh berkaitan dengan persoalan seputar tanah.
Islam mengajarkan kepada umatnya agar meletakan dan memposisikan persoalan harta (kekayaan duniawi) dalam tinjauan yang relatif, yaitu perlunya kesadaran bahwa harta kekayaan yang bersifat duniawi hakikatnya adalah milik Allah dan sifat kepemilikanya bersifat semu. Artinya, bahwa kepemilikan manusia terhadap hartanya dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Kepemilikan manusia atas harta benda tidak lebih sebuah amanah (titipan, as a trust).
Dalam Islam, kepemilikan tanah oleh seseorang dalam konteks individual dalam relasi sosial secara yuridis diakui, di mana pemilik tanah mempunyai kewenangan untuk menggunakan (tasharruf) sesuai dengan keinginanya. Kewenangan manusia atas kepemilikan harta (proverty right) dalam kaidah hukum Islam dilindungi dalam bingkai hifdzu al-maal sebagai salah satu prinsip al-kulliyat al-khams. Tanah di samping sebagai instrumen ekonomis, juga mempunyai kandungan sosial-humanistik. Oleh karena itu dalam Islam tidak diperbolehkan untuk melakukan praktek monopoli asset / harta. Dengan demikian pemilikan harta oleh seseorang haruslah disertai dengan pertanggungjawaban secara moral.
Kepemilikan harta benda dalam Islam berbeda secara idiologis dengan system ekonomi yang beridiologi liberal-kapitalistik dan komunistik. Aliran liberal kapitalistik yang bersumber dari teori laisser faire laisser aller memandang hak milik sebagai hak mutlak, setiap orang (individu) bebas untuk mencari, memiliki dan menggunakan menurut kemauanya sendiri secara bebas sehingga memberi ruang yang bebas lahirnya praktek monopoli dan eksploitasi untuk menindas kelompok ekonomi lemah. Sedangkan system ekonomi komunisme tidak mengakui hak milik perorangan, karena semua harta benda dimiliki dan dikuasai oleh negara. Islam berada di antara dua ekstrimitas idiologi besar yang memposisikan sebagai sistem idiologi sintetis dengan mengedepankan prinsip moderatisme (wasyatiyah).
Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas harta benda yang lainya dalam konteks yuridis maupun etika sosial haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang di dalamnya juga harus mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat sosial. Kebebasan seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain baik secara individual maupun kelompok. Dalam konteks ini telah diatur dalam hadis Nabi tentang fungsi-fungsi sosial yang melekat pada hak milik atas tanah dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan orang lain dan public sphare (ruang publik).
Dalam kaitan dengan relasi personal dan sosial di tengah-tengah masyarakat, persoalan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya juga harus mempertimbangkan kepentingan orang lain (syarik; orang yang berdampingan) denganya. Menurut imam Malik bin Anas, seseorang yang akan membuat sumur yang berdekatan dengan sumur tetangganya tidak diperbolehkan kalau pembuatan sumur itu membahayakan tetangga sebelahnya. Begitu juga dilarang seseorang membangun/membuat jamban/WC yang menggangu sumur tetangganya karena terlalu berdekatan. Dalam hal seseorang pemilik tanah yang tanah tersebut bergandengan /bersamaan dalam hal kepemilikanya dengan orang lain kemudian pemilik tanah tersebut akan menjual tanahnya, maka dalam fiqh tetangganya (syarik) haruslah orang yang pertama ditawari tanah tersebut. Dalam konteks ini seorang tetangga mempunyai hak syuf’ah yaitu hak untuk memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya kepada tetangganya.
Islam memandang negara sebagai institusi yang mengelola masyarakat suatu negara. Atas dasar inilah maka Islam memberikan hak sekaligus kewajiban kepada isntitusi tersebut untuk mengatur relasi antar individu dan individu dengan masyarakat serta hubungan individu, masyarakat dengan negara. Dalam hal pengaturan fungsi-fungsi sosial tanah, pemerintah (imam) mempunyai otoritas untuk membuat regulasi terkait dengan tanah, untuk mengatur dan menata penggunaan tanah untuk menciptakan kemaslahatan umum. Justifikasi yuridis atas otoritas pemerintah untuk membuat regulasi tersebut didasarkan pada hadits sebagai berikut:
وعن ابن عباس أن الصعب بن جثامة أخبره أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا حمى إلا لله ولرسوله رواه البخاري
Artinya :Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwasanya Sha’b ibn Jisamah menceritakan sesungguhnya Nabi bersabda: tidak ada batasan kecuali batasan Allah dan Rasulullah.

Imam Syafi’I memahami hadis ini dengan dua kemungkinan pengertian. Pertama, bahwa tidak ada seorangpun yang berhak membuat batasan (penggunaan tanah) kecuali oleh Rasulullah dan tidak bisa digantikan oleh siapapun. Kedua, seseorang boleh membuat batasan-batasan sebagaimana batasan yang telah dibuat oleh Rasulullah yaitu para khalifah pengganti beliu (dalam kapasitas sebagai seorang imam). Pemahaman yang kedua inilah yang dinilai kuat. Berdasarkan hadis ini pula, seorang imam/kepala negara berhak untuk mengatur (membuat batasan) penggunaan tanah tentu dengan alasan yang rasional, logis dan objektif dengan dilandasi semangat merealisasikan kemaslahatan umum sebagai tugas pokok kepala negara. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Artinya: bahwa kebijakan seorang kepala negara harus berorientasi pada upaya menciptakan kemaslahatan

Pemerintah dalam upaya pembangunan tentu memerlukan tanah sebagai instrumen fisik bagi tegaknya sebuah bangunan. Diantara hak pemerintah dalam hal pengaturan tanah yang bersentuhan langsung dengan hak warga dan negara dalam fiqh Islam dikenal empat konsep dasar yaitu ihya’ul mawat, hima, irfaq dan iqta’. Pemerintah dengan alasan menciptakan kepentingan umum (maslahah ‘ammah) mempunyai otoritas untuk melakukan tahdid al-milkiyah (pembatasan hak milik), naz’u al-aradhi (pencabutan hak milik) di mana otoritas kebijakan ini bersinggungan langsung dengan kepemilikan tanah warga negara. Pada posisi ini negara akan dihadapkan pada dua kutub kepentingan yaitu antara kepentingan warga negara dan kepentingan negara atas nama pembangunan.
Hanya saja dalam konteks interpretasi apa makna dan kriteria kemaslahatan / kepentingan umum sebagai dasar pembenaran intervensi pemerintah atas hak tanah rakyat seringkali menjadi bias yang pada umumnya menggunakan paradigma kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan juga. Ketika kekuasaan negara tidak lagi memerankan fungsinya sebagai instrumen untuk menyejahterakan rakyatnya, maka konflik kepentingan antara rakyat dan negara sangat mungkin terjadi. Gambaran dari berbagai fenomena konflik rakyat dan negara dalam realitas sosial yang kerap disertai dengan aksi kekerasan adalah bukti konkrit di mana batas-batas hak kepemilikan rakyat dan negara atas tanah tidak jelas bahkan kemungkinan terjadi penindasan. Dari latar belakang masalah di atas, tampak jelas adanya kesenjangan antara idialitas sebuah teori dengan realitas empiris mengenai relasi kuasa antara rakyat dan pemerintah dalam hal batasan hak atas tanah.
Adapun yang menjadi persoalan pokok penelitian ini adalah bagaimana konsep hukum Islam dalam hal pengaturan masalah seputar pertanahan. Masalah pokok tersebut dapat dirinci ke dalam beberapa sub bahasan yaitu konsep cara perolehan hak milik atas tanah, fungsi sosial tanah, batas-batas kepemilikan individu dan negara atas tanah serta kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tanah.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini memusatkan kajian pada pada penelitian kepustakaan (library research) yang sifatnya deskriptif analitis berdasarkan kajian teks. Metode ini diperlukan untuk menggali data, fakta serta teori yang membuat suatu kepercayaan itu benar. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normative legal research13. yaitu penelaahan hukum normative dengan memusatkan kajian pada interpretasi teks al-Qur’an, Hadits, dan kitab fiqh yang ditulis para ulama.
Metode pengumpulan data penelitian ini adalah dengan metode dokumentasi. Metode ini digunakan untuk melacak data-data penelitian yang bersifat kepustakaan berupa dokumen tertulis dalam al-Qur’an dan Hadits dan kitab fiqh terkait dengan konsep kepemilikan, kedudukan, fungsi dan kewenangan pemerintah untuk membuat regulasi tentang pertanahan. Metode pengumpulan data yang lain adalah metode historis yaitu cara pengambilan data / fakta yang bertolak pada pemaknaan perkembangan dalam kaitan waktu di masa lampau.14. Metode ini diperlukan untuk melihat dimensi historisitas sebuah pendapat hukum dari seorang penulis kitab atau pejabat negara dalam membangun gagasanya soal tanah atau membuat kebijakan yang tidak lepas dari dimensi ruang dan waktu.
Sedangkan untuk analisis data penelitian ini adalah analisa kualitatif dengan menggunakan metode content analysis15. atau yang sering disebut sebagai analisis isi atau kajian isi yaitu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha memunculkan karakteristik pesan yang dilakukan secara obyektif dan sistematis. Metode ini juga diartikan sebagai alat untuk mengobservasi dan menganalisis prilaku komunukasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih.16 Dengan metode ini akan diperoleh suatu hasil atau pemahaman terhadap isi pesan pengarang/penulis kitab secara objektif, sistematis dan relevan secara sosiologis. Metode ini digunakan untuk menganalisis substansi pemikiran para ulama fiqh dengan menganalisis kerangka paradigmatik dan konsep-konsep dasarnya, untuk kemudian ditarik pada konteks kekinian.
Di samping itu, peneliti juga menggunakan metode komparatif17 yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh suatu kesimpulan dengan meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan suatu situasi atau fenomena yang diteliti dan membandingkan dengan factor lain. Metode ini digunakan untuk memetakan kerangka paradigmatik dan konsep-konsep dasar yang digagas oleh para ahli fiqh tentanh hukum pertanahan untuk kemudian dicari titik persamaan dan perbedaan sebagai bahan merumuskan fiqh tanah yang utuh dan sistematis. Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan abstraksi atau generalisasi dari hasil temuan penelitian.
D. Hasil Penelitian dan Analisis
Tanah merupakan tempat di mana bangunan tempat tinggal manusia didirikan. Tanah juga merupakan bagian dari asset yang seringkali dalam tata pergaulan social menjadi persoalan yang menjadi objek atau menjadi sebab lahirnya persengketaan. Dalam proses kepemilikan tanah dan penggunaannya seringkali terjadi persinggungan kepentingan antara kepentingan rakyat vis a vis pemerintah, kepemilikan individu dengan masyarakat atau kepemilikan masyarakat dengan pemerintah.
Dalam kaitan dengan tulisan ini, penulis paparkan beberapa temuan penelitian yang fokusnya pada bagaimana otoritas pemerintah dalam membuat regulasi tentang tanah dan bagiamana pula persinggungan kepentingan antara kepemilikan rakyat dengan kepentingan negara serta beberapa model solusi penyelesian sengketa tentang tanah.
I. Konsep Maslahat ‘Ammah dan Ri’ayat al-Ra’iyyah dalam Membuat Kebijakan Masalah Tanah

Misi utama kehadiran Islam di muka bumi adalah menciptakan kedamaian hidup yaitu kehidupan yang penuh dengan kemaslahatan yang dapat dinikmati mahluk semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).Visi Islam membangun kemaslahatan bersama ini dibangun dengan mendasarkan pada fondasi etika Islam yang implementasinya dibumikan melalui instrumen politik yaitu system kenegaraan Islam.
Dalam Islam dikenal konsep siyasah syar’iyyah (kepemimpinan politik Islam) yang ciata-cita dasarnya pada pembumian kemaslahatan bersama (tahqiq mashalih al-‘ibad). Nilai-nilai kemaslahatan yang melekat dan menjadi hak dasar setiap manusia dalam hukum Islam dikenal dengan al-kulliyat al-khams atau adh-dharuriyat al-khams yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Oleh karena itu setiap kebijakan politik yang diambil oleh pemimpin politik Islam (khalifah/imam) haruslah berorientasi pada penciptaan kemaslahatan bersama.
Dengan mendasarkan pada konsep di atas, maka siyasah islamiyah tidak hanya dipahami terbatas pada politik yang bersifat structural dan formal. Tetapi lebih dari itu, ia mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk mendinamisir warga masyarakat untuk bersikap dan berprilaku politis dengan pertimbangan maslahah yang luas. Yusuf Qardhawi sebagaimana dikutip oleh KH Sahal Mahfudh menegaskan, politik yang adil (as-siyasa al-‘adila) bukan harus sesuai dengan syari’at, melainkan tidak bertentangan dengan syari’at.18
Kewenangan pemerintah membuat regulasi tentang pertanahan dalam fiqh dikenal dua konsep yaitu Hima’ yaitu kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk menetapkan kawasan lindung untuk kepentingan binatang ternak atau untuk kemaslahatan umum. Otoritas kedua adalah Iqtha’ yaitu pemberian tanah oleh pemerintah kepada orang atau kelompok orang baik untuk dimiliki atau disewakan. Kebijakan memutuskan Iqtha’ maupun Hima oleh pemerintah harus didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan ummat.19 Kalaupun pemerintah (imam) akan melakukan pembebasan tanah dengan otoritas iqtha’ yang melekat padanya, maka rakyat atau pihak-pihak yang tanahnya terambil mempunyai hak untuk memperoleh ganti rugi / imbalan (al-ujrah) yang diambil dari uang baitul maal (kas negara).20 Kalau tidak ada ganti rugi maka pemerintah melakukan kedholiman kepada rakyatnya
Seorang imam/kepala negara berhak untuk mengatur (membuat batasan) penggunaan tanah tertentu dengan alasan yang rasional, logis dan objektif dengan dilandasi semangat merealisasikan kemaslahatan umum بشرط أن لا يضر بكافة المسلمين sebagai tugas pokok kepala negara. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: bahwa kebijakan seorang kepala negara harus berorientasi pada upaya menciptakan kemaslahatan تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebolehan membuat kebijakan hima yang diambil oleh pemerintah adalah untuk kemaslahatan ummat dan sebaliknya kalau kebijakan itu berimplikasi lahirnya madharat maka tidak boleh.21 Salah satu instrumen kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tanah adalah hak imam membuat hima (tanah lindung) untuk kepentingan rakyat banyak.22 Namun demikian seorang imam tidak boleh menentukan kebijakan hima untuk kepentingan dirinya.23 Dasar kebijakan penguasa dalamr pembuatan kebijakan hima adalah terciptanya kemaslahatan manusia (ma lam yudhayyaq ‘ala an-naas).24 Dasar filosofis dari kebijakan pemerintah membuat regulasi tentang harta berangkat dari sebuah kesadaran akan hakikat harta bahwa semua harta itu hakikatnya adalah milik Allah. Berkaitan dengan ini Khalifah Umar ibn Khattab berkata :
فقال عمر المال مال الله والعباد عبادالله
Artinya: Umar berkata “ Semua harta adalah milik Allah dan semua hamba (manusia) hakikatnya juga milik Allah”.25

Ketika seorang imam membuat kebijakan hima’ untuk dirinya sendiri akan dikhawatirkan munculnya penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya dan konsekuensi logisnya adalah akan merugikan orang lain. Dengan kata lain kebijakan hima’ untuk kalangan para pejabat akan melahirkan monopoli kekayaan yang terselubung dengan bingkai dan legitimasi dari pemilik otoritas politik. Monopoli dan oligapoli adalah praktek yang dilarang dalam Islam.
Demikian juga kewenangan imam membuat kebijakan iqtha’ (pemberian lahan) juga harus mempertimbangkan kemaslahatan umum. Oleh karena itu ketika orang yang menerima tanah iqtha tidak digunakan (dikelola) maka seorang imam boleh menarik kembali tanah yang diberikanya. Persoalan yang muncul kemudian adalah bolehkah seorang membatalkan pemberian imam lain ?. Dalam masalah ini mayoritas ulama fiqh membolehkan membatalkan iqtha imam lainya.26 Adapun Level imam yang punya otoritas membuat kebijakan iqtha adalah kepala negara (imam al-a‘dham).27

II. Relasi Individu, Masyarakat dan Negara dalam Pemilikan Tanah

Setiap hak milik pribadi selalu akan bersinggungan dengan berbagai kepentingan dengan pihak lain. Persinggungan kepentingan tersebut bisa mewujud dalam relasi antara individu, individu dengan masyarakat dan individu dengan negara. Titik persinggungan tersebut berkaitan dengan berbagai kepentingan yang timbul dari banyaknya kepentingan seputar kepemilikan individu atas tanah.
Batas-batas hak milik pribadi dan kepemilikan itu menyaratkan tanah itu ditempati selama sebulan atau setahun.28 Hak kepemilikan tanah oleh individu akan menjadi hilang ketika mandat yang diberikan oleh pemerintah tidak bisa digunakan atau dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan fungsi dan tujuan awalnya. Dari konsep ini tampak ada batasan kedaluarsa kepemilikan atas tanah yang dasar pemikiranya adalah ketika tanah tersebut tidak lagi menjadi produktif yang jelas akan mengabaikan fungsi sosial tanah karena tidak ada nilai ekonomis apapun bagi kesejahteraan sosial. Ketentuan waktu kedaluarsa hak kepemilikan seseorang adalah tiga tahun.29 Salah satu hak masyarakat atas kepemilikan individu adalah berkaitan dengan hak penggunaan air oleh ibn sabil / para musafir yang membutuhkan air untuk keperluan hidupnya.30 Oleh karena itulah, maka seorang Imam tidak boleh mengeluarkan kebijakan iqtha kalau berakibat pada menyulitkan masyarakat.31 Kalaupun seorang imam mempunyai otoritas memberi sebidang tanah melalui hak iqtha’ maka pemberian tersebut sesuai kebutuhan, kalau berlebihanan akan mengakibatkan dharar kepada kaum muslimin.32 Contoh lain dari persinggungan hak milik pribadi antara lain pada pengaturan hak atas hak orang lain. Seseorang yang akan membuat rumah misalnya maka setiap rumah haruslah mempunyai pintu atau jendela sendiri. Oleh karena itu dilarang seseorang memanfaatkan jendela (sebagai ventilasi) dari orang lain.33
Dalam Islam, setiap individu mempunyai hak untuk memiliki harta/aset termasuk tanah dan berhak pula untuk mentasharufkanya sesuai dengan dengan keinginan pemilik. Hak milik secara individual memang diakui keberadaanya sebagai hak yang melekat pada setiap individu yang didasarkan pada prinsip hifzd al-maal. Namun demikian, kebebasan individu atas hak miliknya dalam penggunaanya dibatasi oleh hak-hak orang lain. Hak orang lain atas tanah individu mengandaikan akan fungsi social dari tanah.
Dalam bebarapa literatur fiqh diatur beberapa kerangka etika kepemilikan atas tanah, antara lain :
1. Larangan duduk di jalan, karena mengganggu pemakai jalan. Fungsi pokok dari jalan adalah ruang publik di mana setiap orang berhak melintas di atasnya. Berhenti atau duduk di jalan dibolehkan selama tidak mengganggu pengguna jalan.34 Jalan umum (al-thariq al-‘amm) adalah milik umum sehingga tidak boleh seseorang mendirikan tempat untuk berjualan di atasnya atau dijadikan tempat duduk yang akan mengganggu pemakai jalan.35
2. Dilarang seseorang melintas jalan milik orang lain tanpa izinya, karena perbuatan tersebut termasuk ghasab.36 Dalam kitan dengan masalah jalan ini, seseorang tidak boleh membuat pintu atau jendela yang posisinya pas berada di atas jalan tersebut kecuali ada izin dari pemilik jalan. Jalan milik perorangan disebut dengan al-thariq al-khas.37
3. Kelebihan air dan rumput yang dimiliki oleh seseorang hendaknya diberikan kepada orang lain ketika kebutuhan dirinya telah tercukupi. Melarang orang lain untuk mengambil kelebihan air yang oleh seseorang, maka menurut Rasululalah menyebabkan tertutupnya rahmat Allah kepada orang tersebut.38
4. Tidak boleh menyerobot hak orang lain.39 Larangan ini mendasarkan pada hadits Rasulullah :
عن يعلى بن مرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ثم أيما رجل ظلم شبرا من الأرض كلفه الله أن يحفره حتى يبلغ سبع أرضين ثم يطوقه يوم القيامة حتى يفصل بين الناس

Artinya: Dari Ya’la ibn Abdillah bekata: saya mendengar Rasulallah bersabda Barang siapa yang mengambi sebidang tanah dari bumi maka orang tersebut disiksa pada hari kiamat dengan dikalungi tujuh bumi…40

5. Pengaturan berkaitan dengan pepohonan yang yang condong ke rumah tetangga haruslah ada ganti rugi41 . Dalam kaitan dengan masalah ini Rasulullah telah mengatur sebagaimana disebutkan dalam Hadits:

وحدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن عكرمة عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يمنع الرجل جاره أن يضع خشبة على جداره

Artinya: Dari Hammad ibn Salamah dari Ayyub dari Ikrimah dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasulullah melarang seseorang yang menghalangi kepada tetangganya yang pohon/kayunya pada tembok rumah tetangganya.

6. Hak pemilik rumah susun yaitu perumahan yang terdiri dari beberapa lantai Ketika pemilik lantai bawah berkeinginan menjual rumahnya, maka pemilik lantai ats lebih berhak atas lantai bawah. Apabila bangunan lantai bawah roboh yang berdampak pada kerusakan lantai atas, maka apabila robohnya lantai bawah itu karena kesalahan pemilik lantai bawah, maka pemilik lantai bawah berkewajiban menanggung segala kerugian yang diderita pemilik lantai atas.42
7. Setiap orang yang membuka lahan baru (ihya al-mawat) maka pada dirinya melekat dua kewajiban pokok yaitu kewajiban untuk mengelurakan al-‘usyur yaitu pajak 10 % yang disetorkan kepada pemerintah dan kewajiban untuk membuat batas-batas tanahnya (al-hariim)..Kewajiban pasca ihyaul mawat 10% dan perbatasan.43 Kewajiban membayar sejumlah uang ke kas negara oleh pemilik tanah adalah merupaka salah satu bagian dari relasi hak individu dengan kewajiban pada negara. Inilah titik persinggungan antara kepemilikan secara individu dengan kepentingan negara.
8. Setiap pemilik tanah wajib membuat batas-batas atas tanahnya yaitu batas tanah dengan teras, pohon, batas sumur. Pemberian batasan secara jelas dikasudkan untuk meminimalisir lahirnya konflik yang dipicu oleh sengketa perbatasan hak atas tanah.44
III. Model-model Penyelesaian Sengketa Tanah
Persoalan hak kepemilikan atas harta termasuk masalah seputar pertanahan merupakan masalah yang seringkali terjadi di tengah-tengah masyarakat. Akar persoalan sengketa tentang tanah pada umumnya berkaitan dengan hak penggunaan, batas-batas tanah, transaksi dan yang berkaitan dengan persoalan ganti rugi atas tanah. Ruang lingkup persengketaan dilihat dari subjeknya bisa dalam relasi antar individu, individu dengan masyarakat, individu dengan negara dan masyarakat dengan negara.
Berkaitan dengan model penyelesaian sengketa tentang pertanahan dan pengairan antara seorang laki-laki dari suku Quraisy dengan Bani Quraidhah berkaitan dengan masalah pembagian air dengan mengadukan masalahnya kepada Rasulullah. Dari pengaduan ini Rasulullah memberikan keputusan bahwa pembagian air kepada orang lain baru diberikan ketika jumlah air yang dimiliki seseorang telah mencapai tinggi dua mata kaki. Ketika sudah mancapai tinggi dua mata kaki maka pemilik air yang berada di atas baru berkewajiban mengalirkan kepada kelompok orang yang posisinya berada di bawah. Hak atas air didasarkan pada kedekatan tanah yang dimilikinya dengan sumber mata air.
Apabila ada seseorang yang menanami sebidang tanah orang lain dengan tanaman kurma, maka Rasulallah memutuskan bahwa tanah tersebut adalah masih milik pemiliknya, sedangkan pohon kurma itu adalah milik dari orang yang menanam dan kepadanya diminta untuk mengelurkan pohon kurma tresebut dari kebun.45 Dalam pandangan Rasulallah, kepemilikan atas hak milik adalah hak dasar yang harus dijaga. Ketika beliu dihadapkan pada sengketa tentang pertanahan, beliu menyatakan : Sesungguhnya darah dan harta kamu sekalian terlindungi, maka tidak halal bagi seseorang memanfaatkan harta orang lain tanpa izin pemiliknya.46 Perbuatan menanam pepohonan di atas tanah orang lain menurut Rasulallah adalah bagian dari prilaku dhalim.47
Pada zaman Rasulallah pernah terjadi sengketa seputar kebun korma. Hadist diriwayatkan dari Yahya ibn ’Urwah ibn Zubair dari bapaknya bahwasanya ada seorang laki-laki menanami pohon di kebun korma milik orang lain. Kemudian Rasululllah memberikan keputusan atas kasus ini dengan menyatakan bahwa pemilik kebun korma tetap menjadi pemilik korma tersebut dan seorang yang menanam pohon korma diminta untuk mengeluarkan pohon korma tersebut dari kebun.48
Sedangkan berkaitan dengan sengketa pembagian giliran memperoleh air, hal ini pernah terjadi sengketa pada zaman Rasulullah antara seorang laki-laki Quraisy dengan bani Quraidhah yang diadukan kepada Rasul. Kemudian Rasul memberikan keputusan dalam masalah ini dengan dengan pernyataanya sebagai berikut :
فقضي بينهم رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الماء إلى الكعبين لا يحبس الأعلى على الأسفل
Dari Hadits di atas jelas bagimana Rasulullah memberikan keputusan hukum diantara para pihak yang bersengketa bahwasanya batas hak pengairan itu diukur dengan batasan ketika air tingginya sudah mencapai dua mata kaki. Ketika sudah mencapai ukuran dua mata kaki maka tidak ada alasan pemilik air yang berada di atas untuk menahan airnya bagi orang yang mempunyai lahan di bawahnya.49
Berkaitan dengan sengketa masalah hak pengairan ini juga pernah terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khattab antara Adh-Dhahhak ibn Khulaifah dengan Muhammad ibn Maslamah di mana Adh-Dhahhak meminta kepada Muhammad ibn Maslamah untuk diberi jalan aliran air untuk mengairi kebunnya, akan tetapi Muhammad ibn Maslamah menolaknya. Kemudian Umar memerintahkan pada Muhammad ibn Maslamah untuk memberi jalan aliran air kepada Adh-Dhahhak, tetapi Muhammad ibn Maslamah menolaknya. Kemudian Umar berkata kepada Muhammad, apakah pemberian jalan itu membahayakanmu? Muhammad menjawab, tidak. Umar berkata, mengapa anda menolak memberi jalan air ? demi Allah akan saya alirkan air itu sekalipun melalui perutmu.50

Kemudian berkaitan dengan sengketa batas-batas teras rumah dengan jalan milik umum, maka Rasulullah memberikan keputusan bahwa batas antara teras rumah dengan jalan adalah tujuh dira’. Pemberian batas tanah milik dengan jalan dimaksudkan untuk memberikan ruang yang cukup bagi para pengguna jalan sebagai tempat publik. Dengan demikian maka semangat hadits ini adalah perlunya diperhatikan bahwa ada dimensi social yang harus ditunaikan oleh pemilik lahan yaitu mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masyarakat dalam mengakses jalam secara mudah. Bahkan dalam sebuah riwayat Rasulullah mempersilahkan masyarakat untuk menuntut hak-hak social kepada pemilik tanah ketika kewajiban pemilik tanah berupa memberi jalan kepada pengguna jalan tidak dipenuhi. Adapun batas-batas pemberian hak jalan dari tanah adalah 7 dhira.51 Akan tetapi ketika pemilik tanah membuat jalan secara khusus untuk dirinya sendiri, maka orang yang akan melintasi jalan tersebut padahal jalan untuk umum sudah ada, maka orang tersebut haruslah meminta izin dari pemilik jalan.52
Pengaturan tentang batas-batas hak pengairan juga berkaitan dengan aturan pembuatan sumur tempat sumber mata air. Menurut imam Malik seseorang tidak boleh membuat sumur yang mana sumur tersebut berdekatan dengan sumur tetangganya. Menurutnya, kalau pembuatan sumur tersebut betul-betul membahayakan bagi sumur tetangganya, maka pembuatan sumur tesebut dilarang. Rasulullah memberikan batas / jarak antara satu sumur dengan sumur lain dengan berbagi sisinya yaitu empat puluh dzira’.53 Demikian juga seseorang dilarang membuat jamban (kakus) yang sangat berdekatan dengan sumur tetangganya.54
Dari berbagai kasus actual baik yang terjadi pada masa Rasulullah, masa sahabat ataupun pada masa-masa imam mazhab berkaitan dengan sengketa pertanahan tampak bahwa persoalan seputar sengketa tanah merupakan persoalan yang sering terjadi dalam proses kehidupan. Dengan memperhatikan berbagai kasus sebagaimana penulis deskripsikan di atas sangat jelas bagaimana Rasulullah dan kaum salafus shalih telah memberikan panduan teknis bagi penyelesaian masalah pertanahan. Paradigma yang dikembangkan dalam proses penyelesaian masalah tanah adalah menciptakan dan membumikan nilai-nilai kemaslahatan sebagai dasar pijakanya. Pembumian nilai-nilai kemaslahatan adalan inti dari ajaran Islam.
Beberapa panduan teknis penyelesaian masalah sengketa tanah baik dalam relasi personal, atau relasi personal dengan komunal atau relasi komunal dengan negara di samping mempertimbangkan bingkai yuridis juga mempertimbangkan dimensi etis. Perpaduan dimensi yuridis dan etis dalam membuat regulasi pertanahan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan kaum salafus shalih merupakan gambaran penyelesaian masalah tanah secara bermartabat dan terhormat dengan menghindarkan pada eksploitasi atau bahkan mendeskriditkan pihak lain yang bertentangan dengan spirit dasar syari’at Islam yaitu tahqiq al-mashalih al-‘ammah.
F. Kesimpulan

Dalam Islam, kepemilikan tanah oleh seseorang dalam konteks individual dalam relasi sosial secara yuridis diakui, di mana pemilik tanah mempunyai kewenangan untuk menggunakan (tasharruf) sesuai dengan keinginanya. Kewenangan manusia atas kepemilikan harta (proverty right) dalam kaidah hukum Islam dilindungi dalam bingkai hifdzu al-maal sebagai salah satu prinsip al-kulliyat al-khams. Tanah di samping sebagai instrumen ekonomis, juga mempunyai kandungan sosial-humanistik.
Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas harta benda yang lainya dalam konteks yuridis maupun etika sosial haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang di dalamnya juga harus mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat sosial. Kebebasan seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain baik secara individual maupun kelompok. Dalam konteks ini telah diatur dalam hadis Nabi tentang fungsi-fungsi sosial yang melekat pada hak milik atas tanah dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan orang lain dan public sphare (ruang publik). Dalam kaitan dengan relasi personal dan sosial di tengah-tengah masyarakat, persoalan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya juga harus mempertimbangkan kepentingan orang lain (syarik; orang yang berdampingan) denganya.
Islam memandang negara sebagai institusi yang mengelola masyarakat suatu negara. Atas dasar inilah maka Islam memberikan hak sekaligus kewajiban kepada isntitusi tersebut untuk mengatur relasi antar individu dan individu dengan masyarakat serta hubungan individu, masyarakat dengan negara. Dalam hal pengaturan fungsi-fungsi sosial tanah, pemerintah (imam) mempunyai otoritas untuk membuat regulasi terkait dengan tanah, untuk mengatur dan menata penggunaan tanah untuk menciptakan kemaslahatan umum.
Otoritas pemerintah membuat regulasi pertanahan didasarkan pada hak yang dimiliki oleh pemerintah yaiu hak iqtha yaitu hak memberikan lahan pada pihak lain baik sebagai hak milik atau hak memanfaatkan saja dan hima’ yaitu otoritas untuk menetapkan tempat lindung sebagai public sphare untuk kemaslahatan bersama. Kalaupun pemerintah (imam) akan melakukan pembebasan tanah dengan otoritas iqtha’ yang melekat padanya, maka rakyat atau pihak-pihak yang tanahnya terambil mempunyai hak untuk memperoleh ganti rugi / imbalan (al-ujrah) yang diambil dari uang baitul maal (kas negara) dengan mendasarkan pada nilai kepatutan secara sosial (‘urf) yang diputuskan secara bersama-sama dengan prinsip saling rela.
Seorang imam/kepala negara berhak untuk mengatur (membuat batasan) penggunaan tanah tertentu dengan alasan yang rasional, logis dan objektif dengan dilandasi semangat merealisasikan kemaslahatan umum بشرط أن لا يضر بكافة المسلمين sebagai tugas pokok kepala negara. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: bahwa kebijakan seorang kepala negara harus berorientasi pada upaya menciptakan kemaslahatan تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebolehan membuat kebijakan hima yang diambil oleh pemerintah adalah untuk kemaslahatan ummat dan sebaliknya kalau kebijakan itu berimplikasi lahirnya madharat maka tidak boleh. Salah satu instrumen kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tanah adalah hak imam membuat hima (tanah lindung) untuk kepentingan rakyat banyak. Namun demikian seorang imam tidak boleh menentukan kebijakan hima untuk kepentingan dirinya. Dasar kebijakan penguasa dalamr pembuatan kebijakan hima adalah terciptanya kemaslahatan manusia (ma lam yudhayyaq ‘ala an-naas). Dasar filosofis dari kebijakan pemerintah membuat regulasi tentang harta berangkat dari sebuah kesadaran akan hakikat harta bahwa semua harta itu hakikatnya adalah milik Allah.












Endnote

Lihat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 17.
2 Dalam kaidah hukum Islam dikenal lima prinsip dasar yang terumuskan dalam konsep al-Kulliyat al-khams yaitu: khifdz al-din (agama) , nafs (jiwa), aql (akal), maal (harta) dan nasl (keturunan).
3 Lihat al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 19.
4Larangan monopoli dalam Islam secara konseptual diqiyaskan dengan larangan menimbun barang (al-ihtikar) berdasarkan hadits :
عن سعيد بن المسيب عن معمر بن عبد الله بن نضلة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم لا يحتكر إلا خاطئ
Lihat, Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 2 (Bairut: Daar al-Fikr, tt) hal. 728.
5 Dirjen Bimas Islam Depag RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal. 12-13.
6 Muhammad Abi Sahl al-Syarakhsyi, Al-Mabsuth, Juz 15 (Bairut: Daar al-Ma’rifah, tt) hal. 55-56.
7 Imam Malik ibn Anas, Al-Mudawwanat al-Kubra, Juz 15, (Bairut: Daar al-Sadr, tt) hal. 197
8 Muhammad ibn Yaziz Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, juz 2, (Bairut: Daar al-Fikr, tt) hal. 833.
9 Abi Hasan al-Mawardi, Kitab Ahkam al-Sulthaniyah, (Bairut: Daar al-Fikr, 1960), hal. 185.
10 Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I, Al-Umm, Juz 4 (Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1393 H), hal. 48. lihat pula, Syams al-Haq al- ‘Adzim, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Juz 8, (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415), hal. 135. Bandingkan dengan As-Shan’ani, Subulus Salam, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt) hal. 83
11 Abdurahman as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadhair, (Indonesia: Maktabah Nur, tt) hal. 83.
12 Abi Hasan al-Mawardi, Kitab. hal. 177-190. Bandingkan dengan, Abu Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhaddzab fi Fiqh Imam Syafi’I juz 1, (Bairut: Daar al-Fikr, tt) hal. 426.
13. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1998), hal. 250.
14 . Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hal. 65.
15. Sujono dan Abdurahman, Metodologi Penelitian, Suatu pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 13.
16 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi. hal. 154.
17.Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal.261.
18. KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Jogjakarta: LkiS, 1994) hal. 231.
19.Lihat Abi Hasan Al-Mawardi, Kitab Ahkam al-Sulthaniyah, (Bairut: Daar al-Fikr, 1960) hal.195-190. Bandingkan dengan, Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Bairut: Daar al-Fikr, tt ) hal. 574-575.
20. Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Juz 5. hal, 339.
21. Ibnu Qudamah, Al-Kaafi. hal. 510.
22. Muhammad Ibn Muflikh al-Maqdisi, Al -Furu’ juz 4. hal. 442. Lihat pula, Muhammad Ibn Muflikh al-Maqdisi, Al-Mubda’ fi Syarh al-Muqni Juz 5, hal. 259.
23.Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Juz 5. hal, 338
24.Muhammad Ibn Muflikh al-Maqdisi, Al-Mubda’ fi Syarh al-Muqni Juz 5, hal. 265.

25 Ibid, hal. 265.
26Ibid, Bandingkan pula dengan, Abi Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’. hal. 208.
27 Ibid, 117. lihat pula, Ibnu Qudamah, Al-Mughni. hal. 462.
28 Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Juz 5. hal, 341.
29 Abi Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’. hal. 108.
30 Ibnu Qudamah, Al-Mughni. hal. 474.
31 Ibid. hal. 463.
32 Sayyidi Ahmad Ad-Dardiri, Asy-Syarh al-Kabir juz 4 (Bairut: Daar al-Fikr, t.tp) hal. 68.
33 Ibn Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8 (Bairut: Daar al-Afaq al-Jadidah, t.tp) hal. 241.
34 Abi Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’. hal. 104.
35 Muhammad Kamaludin Imam, Nadhariyat al-Fiqh fi Al-Islamy (Bairut: Jamiat al-Iskandariyat, t.tp) hal. 447.
36 Ibrahim ibn Abi al-Yamni Muhammad al-Hanafi, Lisanul Hukkam fi Marifatil Ahkam juz 1 (Kairo: Al-Babi al-Halabi, 1973) hal. 305-306.
37 Muhammad Kamaludin Imam, Nadhariyat. hal. 446.
38 Ibnu Qudamah, Al-Kaafi. hal. 511.
39 Muhammad Kamaludin Imam, Nadhariyat. hal. 444. Bandingkan dengan, Muhammad ibn Ahmad al-Minhaji, Jawahirul Uqud wa Mu’inul Quddhat wal Muwaqqiina wa Syuhud (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996) hal. 238.
40 Hadis riwayat Ibn Hibban dari Ya’la ibn Murrah dalam Shahih Ibn Hibban.
41Burhanudin Abi Wafa’, Tabshiratul Hukkam (Bairut: Daar al-Fikr, t.tp) hal. 252.
42Muhammad Kamaludin Imam, Nadhariyat. hal. 443-447.
43 Alauddin al-Kissai, Badai’u Ash-Shana’I fi Tartib Asy-Syara’Ijuz 6 (Bairut: Daar al-Kutub al-Arabi, t.tp) hal. 195. Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra juz 6 (Makkah Mukarramah, Maktabah Daar al-Baaz, t.tp) hal. 165-166.
44 Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 165-166.

45 Ibnu Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla. hal. 236.
46 Ibnu Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8. hal. 240.
47Abu Daud Al-Sijistani, Sunan Abi Daud, 179.
48 Ibnu Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8. hal. 236. lihat pula, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari. hal. 19.
49 Abu Daus Al-Sijistani, Sunan Abi Daud juz 3. hal. 316.
50 Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 156. Bandingkan dengan, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul. hal. 111.
51 Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 154.
52 Ibrahim ibn Abi al-Yamni Muhammad al-Hanafi, Lisanul Hukkam. hal. 306.
53Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 155.
54 Malik ibn Anas, Al-Mudawanatul Kubra juz 15 (Bairut: Daar al-Shadr, t.tp) hal. 195.























DAFTAR PUSTKA
Abi Hasan al-Mawardi, Kitab Ahkam al-Sulthaniyah, (Bairut: Daar al-Fikr, 1960)
As-Shan’ani, Subulus Salam, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt)
Abdurahman as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadhair, (Indonesia:Maktabah Nur, tt)
Abu Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhaddzab fi Fiqh Imam Syafi’I juz 1, (Bairut: Daar al-Fikr, tt)
Dirjen Bimas Islam Depag RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003)
Imam Malik ibn Anas, Al-Mudawwanat al-Kubra, Juz 15, (Bairut: Daar al-Sadr,
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 2 (Bairut: Daar al-Fikr, tt)
Idris Asy-Syafi’I, Al-Umm, Juz 4 (Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1393 H)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1998)
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2001
Sujono dan Abdurahman, Metodologi Penelitian, Suatu pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998).
Ibn Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8 (Bairut: Daar al-Afaq al-Jadidah, t.tp)
Ibrahim ibn Abi al-Yamni Muhammad al-Hanafi, Lisanul Hukkam.
Muhammad Abi Sahl al-Syarakhsyi, Al-Mabsuth, Juz 15 (Bairut: Daar al-Ma’rifah,tt)
Muhammad ibn Yaziz Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, juz 2, (Bairut: Daar al-Fikr, tt)
KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Jogjakarta: LkiS, 1994)
Syams al-Haq al- ‘Adzim, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Juz 8, (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415)
Muhammad Ibn Muflikh al-Maqdisi, Al-Mubda’ fi Syarh al-Muqni Juz
Ibn Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8 (Bairut: Daar al-Afaq al-Jadidah, t.tp)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari Juz 5 (Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1379 H)
Ibrahim ibn Abi al-Yamni Muhammad al-Hanafi, Lisanul Hukkam fi Ma’rifatil Ahkam (Kairo: Bab a-Halabi, 1973)
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Bairut: Daar al-Fikr, tt )
Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Juz 5 (Kairo: Musthafa bab al-Halabi wa Auladuhu, t.tp)
Sayyidi Ahmad Ad-Dardiri, Asy-Syarh al-Kabir juz 4 (Bairut: Daar al-Fikr, t.tp)
Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 155.
Malik ibn Anas, Al-Mudawanatul Kubra juz 15 (Bairut: Daar al-Shadr, t.tp)

















FIQH TANAH
Batas Hak Kepemilikan antara Rakyat dan Negara atas Tanah
Ridwan, M. Ag.
A. Abstrak

Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas harta benda yang lainya dalam konteks yuridis maupun etika sosial haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang di dalamnya juga harus mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat sosial. Kebebasan seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain baik secara individual maupun kelompok. Dalam konteks ini telah diatur dalam hadis Nabi tentang fungsi-fungsi sosial yang melekat pada hak milik atas tanah dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan orang lain dan public sphare (ruang publik). Dalam kaitan dengan relasi personal dan sosial di tengah-tengah masyarakat, persoalan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya juga harus mempertimbangkan kepentingan orang lain
Islam memandang negara sebagai institusi yang mengelola masyarakat suatu negara. Atas dasar inilah maka Islam memberikan hak sekaligus kewajiban kepada institusi tersebut untuk mengatur relasi antar individu dan individu dengan masyarakat serta hubungan individu, masyarakat dengan negara. Dalam hal pengaturan fungsi-fungsi sosial tanah, pemerintah (imam) mempunyai otoritas untuk membuat regulasi terkait dengan tanah, untuk mengatur dan menata penggunaan tanah untuk menciptakan kemaslahatan umum. Otoritas pemerintah membuat regulasi pertanahan didasarkan pada hak yang dimiliki oleh pemerintah yaiu hak iqtha yaitu hak memberikan lahan pada pihak lain baik sebagai hak milik atau hak memanfaatkan saja dan hima’ yaitu otoritas untuk menetapkan tempat lindung sebagai public sphare untuk kemaslahatan bersama. .(kata kunci :Tanah, Hak milik, fungsi sosial, regulasi, iqtha’, hima’, public sphare, kepentingan umum)

B. Pendahuluan

Tema kajian tentang pertanahan dalam diskursus hukum Islam (fiqh) kurang mendapat perhatian dari pemikir hukum Islam dan ummat Islam pada umumnya. Padahal persoalan yang muncul diseputar pertanahan merupakan problem yang sering kita saksikan khususnya sengketa tentang status tanah ataupun penggunaan atas tanah yang melibatkan sengketa dalam relasi individual, antar kelompok sosial ataupun sengketa tanah antara rakyat dengan penguasa negara (pemerintah). Di Indonesia misalnya, fenomena mogok makan dan menjahit mulut yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tanah dan tempat tinggalnya dilalui oleh saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet) PLN yang menuntut ganti rugi kepada negara merupakan contoh konkrit adanya sengketa tentang tanah antara rakyat dan pemerintah terkait dengan soal tanah. Contoh lain yang menggambarkan sengketa adalah kasus pembangunan waduk Nipah yang menyisakan sengketa antara rakyat yang ingin mempertahankan rumahnya agar tidak digusur oleh pemerintah.
Mengkaji tentang tanah dalam Islam sudah barang tentu akan berkaitan erat dengan persoalan dasar yuridis, etis-filosofis dan fungsi sosiologis dari tanah yang harus dicari sandaran normatifnya dari sumber otoritatif dalam Islam yaitu al-Qur’an, Hadits dan juga pendapat para ulama fiqh berkaitan dengan persoalan seputar tanah.
Islam mengajarkan kepada umatnya agar meletakan dan memposisikan persoalan harta (kekayaan duniawi) dalam tinjauan yang relatif, yaitu perlunya kesadaran bahwa harta kekayaan yang bersifat duniawi hakikatnya adalah milik Allah dan sifat kepemilikanya bersifat semu. Artinya, bahwa kepemilikan manusia terhadap hartanya dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Kepemilikan manusia atas harta benda tidak lebih sebuah amanah (titipan, as a trust).
Dalam Islam, kepemilikan tanah oleh seseorang dalam konteks individual dalam relasi sosial secara yuridis diakui, di mana pemilik tanah mempunyai kewenangan untuk menggunakan (tasharruf) sesuai dengan keinginanya. Kewenangan manusia atas kepemilikan harta (proverty right) dalam kaidah hukum Islam dilindungi dalam bingkai hifdzu al-maal sebagai salah satu prinsip al-kulliyat al-khams. Tanah di samping sebagai instrumen ekonomis, juga mempunyai kandungan sosial-humanistik. Oleh karena itu dalam Islam tidak diperbolehkan untuk melakukan praktek monopoli asset / harta. Dengan demikian pemilikan harta oleh seseorang haruslah disertai dengan pertanggungjawaban secara moral.
Kepemilikan harta benda dalam Islam berbeda secara idiologis dengan system ekonomi yang beridiologi liberal-kapitalistik dan komunistik. Aliran liberal kapitalistik yang bersumber dari teori laisser faire laisser aller memandang hak milik sebagai hak mutlak, setiap orang (individu) bebas untuk mencari, memiliki dan menggunakan menurut kemauanya sendiri secara bebas sehingga memberi ruang yang bebas lahirnya praktek monopoli dan eksploitasi untuk menindas kelompok ekonomi lemah. Sedangkan system ekonomi komunisme tidak mengakui hak milik perorangan, karena semua harta benda dimiliki dan dikuasai oleh negara. Islam berada di antara dua ekstrimitas idiologi besar yang memposisikan sebagai sistem idiologi sintetis dengan mengedepankan prinsip moderatisme (wasyatiyah).
Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas harta benda yang lainya dalam konteks yuridis maupun etika sosial haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang di dalamnya juga harus mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat sosial. Kebebasan seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain baik secara individual maupun kelompok. Dalam konteks ini telah diatur dalam hadis Nabi tentang fungsi-fungsi sosial yang melekat pada hak milik atas tanah dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan orang lain dan public sphare (ruang publik).
Dalam kaitan dengan relasi personal dan sosial di tengah-tengah masyarakat, persoalan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya juga harus mempertimbangkan kepentingan orang lain (syarik; orang yang berdampingan) denganya. Menurut imam Malik bin Anas, seseorang yang akan membuat sumur yang berdekatan dengan sumur tetangganya tidak diperbolehkan kalau pembuatan sumur itu membahayakan tetangga sebelahnya. Begitu juga dilarang seseorang membangun/membuat jamban/WC yang menggangu sumur tetangganya karena terlalu berdekatan. Dalam hal seseorang pemilik tanah yang tanah tersebut bergandengan /bersamaan dalam hal kepemilikanya dengan orang lain kemudian pemilik tanah tersebut akan menjual tanahnya, maka dalam fiqh tetangganya (syarik) haruslah orang yang pertama ditawari tanah tersebut. Dalam konteks ini seorang tetangga mempunyai hak syuf’ah yaitu hak untuk memaksa pemilik tanah untuk menjual tanahnya kepada tetangganya.
Islam memandang negara sebagai institusi yang mengelola masyarakat suatu negara. Atas dasar inilah maka Islam memberikan hak sekaligus kewajiban kepada isntitusi tersebut untuk mengatur relasi antar individu dan individu dengan masyarakat serta hubungan individu, masyarakat dengan negara. Dalam hal pengaturan fungsi-fungsi sosial tanah, pemerintah (imam) mempunyai otoritas untuk membuat regulasi terkait dengan tanah, untuk mengatur dan menata penggunaan tanah untuk menciptakan kemaslahatan umum. Justifikasi yuridis atas otoritas pemerintah untuk membuat regulasi tersebut didasarkan pada hadits sebagai berikut:
وعن ابن عباس أن الصعب بن جثامة أخبره أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا حمى إلا لله ولرسوله رواه البخاري
Artinya :Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwasanya Sha’b ibn Jisamah menceritakan sesungguhnya Nabi bersabda: tidak ada batasan kecuali batasan Allah dan Rasulullah.

Imam Syafi’I memahami hadis ini dengan dua kemungkinan pengertian. Pertama, bahwa tidak ada seorangpun yang berhak membuat batasan (penggunaan tanah) kecuali oleh Rasulullah dan tidak bisa digantikan oleh siapapun. Kedua, seseorang boleh membuat batasan-batasan sebagaimana batasan yang telah dibuat oleh Rasulullah yaitu para khalifah pengganti beliu (dalam kapasitas sebagai seorang imam). Pemahaman yang kedua inilah yang dinilai kuat. Berdasarkan hadis ini pula, seorang imam/kepala negara berhak untuk mengatur (membuat batasan) penggunaan tanah tentu dengan alasan yang rasional, logis dan objektif dengan dilandasi semangat merealisasikan kemaslahatan umum sebagai tugas pokok kepala negara. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Artinya: bahwa kebijakan seorang kepala negara harus berorientasi pada upaya menciptakan kemaslahatan

Pemerintah dalam upaya pembangunan tentu memerlukan tanah sebagai instrumen fisik bagi tegaknya sebuah bangunan. Diantara hak pemerintah dalam hal pengaturan tanah yang bersentuhan langsung dengan hak warga dan negara dalam fiqh Islam dikenal empat konsep dasar yaitu ihya’ul mawat, hima, irfaq dan iqta’. Pemerintah dengan alasan menciptakan kepentingan umum (maslahah ‘ammah) mempunyai otoritas untuk melakukan tahdid al-milkiyah (pembatasan hak milik), naz’u al-aradhi (pencabutan hak milik) di mana otoritas kebijakan ini bersinggungan langsung dengan kepemilikan tanah warga negara. Pada posisi ini negara akan dihadapkan pada dua kutub kepentingan yaitu antara kepentingan warga negara dan kepentingan negara atas nama pembangunan.
Hanya saja dalam konteks interpretasi apa makna dan kriteria kemaslahatan / kepentingan umum sebagai dasar pembenaran intervensi pemerintah atas hak tanah rakyat seringkali menjadi bias yang pada umumnya menggunakan paradigma kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan juga. Ketika kekuasaan negara tidak lagi memerankan fungsinya sebagai instrumen untuk menyejahterakan rakyatnya, maka konflik kepentingan antara rakyat dan negara sangat mungkin terjadi. Gambaran dari berbagai fenomena konflik rakyat dan negara dalam realitas sosial yang kerap disertai dengan aksi kekerasan adalah bukti konkrit di mana batas-batas hak kepemilikan rakyat dan negara atas tanah tidak jelas bahkan kemungkinan terjadi penindasan. Dari latar belakang masalah di atas, tampak jelas adanya kesenjangan antara idialitas sebuah teori dengan realitas empiris mengenai relasi kuasa antara rakyat dan pemerintah dalam hal batasan hak atas tanah.
Adapun yang menjadi persoalan pokok penelitian ini adalah bagaimana konsep hukum Islam dalam hal pengaturan masalah seputar pertanahan. Masalah pokok tersebut dapat dirinci ke dalam beberapa sub bahasan yaitu konsep cara perolehan hak milik atas tanah, fungsi sosial tanah, batas-batas kepemilikan individu dan negara atas tanah serta kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tanah.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini memusatkan kajian pada pada penelitian kepustakaan (library research) yang sifatnya deskriptif analitis berdasarkan kajian teks. Metode ini diperlukan untuk menggali data, fakta serta teori yang membuat suatu kepercayaan itu benar. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normative legal research13. yaitu penelaahan hukum normative dengan memusatkan kajian pada interpretasi teks al-Qur’an, Hadits, dan kitab fiqh yang ditulis para ulama.
Metode pengumpulan data penelitian ini adalah dengan metode dokumentasi. Metode ini digunakan untuk melacak data-data penelitian yang bersifat kepustakaan berupa dokumen tertulis dalam al-Qur’an dan Hadits dan kitab fiqh terkait dengan konsep kepemilikan, kedudukan, fungsi dan kewenangan pemerintah untuk membuat regulasi tentang pertanahan. Metode pengumpulan data yang lain adalah metode historis yaitu cara pengambilan data / fakta yang bertolak pada pemaknaan perkembangan dalam kaitan waktu di masa lampau.14. Metode ini diperlukan untuk melihat dimensi historisitas sebuah pendapat hukum dari seorang penulis kitab atau pejabat negara dalam membangun gagasanya soal tanah atau membuat kebijakan yang tidak lepas dari dimensi ruang dan waktu.
Sedangkan untuk analisis data penelitian ini adalah analisa kualitatif dengan menggunakan metode content analysis15. atau yang sering disebut sebagai analisis isi atau kajian isi yaitu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha memunculkan karakteristik pesan yang dilakukan secara obyektif dan sistematis. Metode ini juga diartikan sebagai alat untuk mengobservasi dan menganalisis prilaku komunukasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih.16 Dengan metode ini akan diperoleh suatu hasil atau pemahaman terhadap isi pesan pengarang/penulis kitab secara objektif, sistematis dan relevan secara sosiologis. Metode ini digunakan untuk menganalisis substansi pemikiran para ulama fiqh dengan menganalisis kerangka paradigmatik dan konsep-konsep dasarnya, untuk kemudian ditarik pada konteks kekinian.
Di samping itu, peneliti juga menggunakan metode komparatif17 yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh suatu kesimpulan dengan meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan suatu situasi atau fenomena yang diteliti dan membandingkan dengan factor lain. Metode ini digunakan untuk memetakan kerangka paradigmatik dan konsep-konsep dasar yang digagas oleh para ahli fiqh tentanh hukum pertanahan untuk kemudian dicari titik persamaan dan perbedaan sebagai bahan merumuskan fiqh tanah yang utuh dan sistematis. Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan abstraksi atau generalisasi dari hasil temuan penelitian.
D. Hasil Penelitian dan Analisis
Tanah merupakan tempat di mana bangunan tempat tinggal manusia didirikan. Tanah juga merupakan bagian dari asset yang seringkali dalam tata pergaulan social menjadi persoalan yang menjadi objek atau menjadi sebab lahirnya persengketaan. Dalam proses kepemilikan tanah dan penggunaannya seringkali terjadi persinggungan kepentingan antara kepentingan rakyat vis a vis pemerintah, kepemilikan individu dengan masyarakat atau kepemilikan masyarakat dengan pemerintah.
Dalam kaitan dengan tulisan ini, penulis paparkan beberapa temuan penelitian yang fokusnya pada bagaimana otoritas pemerintah dalam membuat regulasi tentang tanah dan bagiamana pula persinggungan kepentingan antara kepemilikan rakyat dengan kepentingan negara serta beberapa model solusi penyelesian sengketa tentang tanah.
I. Konsep Maslahat ‘Ammah dan Ri’ayat al-Ra’iyyah dalam Membuat Kebijakan Masalah Tanah

Misi utama kehadiran Islam di muka bumi adalah menciptakan kedamaian hidup yaitu kehidupan yang penuh dengan kemaslahatan yang dapat dinikmati mahluk semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).Visi Islam membangun kemaslahatan bersama ini dibangun dengan mendasarkan pada fondasi etika Islam yang implementasinya dibumikan melalui instrumen politik yaitu system kenegaraan Islam.
Dalam Islam dikenal konsep siyasah syar’iyyah (kepemimpinan politik Islam) yang ciata-cita dasarnya pada pembumian kemaslahatan bersama (tahqiq mashalih al-‘ibad). Nilai-nilai kemaslahatan yang melekat dan menjadi hak dasar setiap manusia dalam hukum Islam dikenal dengan al-kulliyat al-khams atau adh-dharuriyat al-khams yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Oleh karena itu setiap kebijakan politik yang diambil oleh pemimpin politik Islam (khalifah/imam) haruslah berorientasi pada penciptaan kemaslahatan bersama.
Dengan mendasarkan pada konsep di atas, maka siyasah islamiyah tidak hanya dipahami terbatas pada politik yang bersifat structural dan formal. Tetapi lebih dari itu, ia mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk mendinamisir warga masyarakat untuk bersikap dan berprilaku politis dengan pertimbangan maslahah yang luas. Yusuf Qardhawi sebagaimana dikutip oleh KH Sahal Mahfudh menegaskan, politik yang adil (as-siyasa al-‘adila) bukan harus sesuai dengan syari’at, melainkan tidak bertentangan dengan syari’at.18
Kewenangan pemerintah membuat regulasi tentang pertanahan dalam fiqh dikenal dua konsep yaitu Hima’ yaitu kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk menetapkan kawasan lindung untuk kepentingan binatang ternak atau untuk kemaslahatan umum. Otoritas kedua adalah Iqtha’ yaitu pemberian tanah oleh pemerintah kepada orang atau kelompok orang baik untuk dimiliki atau disewakan. Kebijakan memutuskan Iqtha’ maupun Hima oleh pemerintah harus didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan ummat.19 Kalaupun pemerintah (imam) akan melakukan pembebasan tanah dengan otoritas iqtha’ yang melekat padanya, maka rakyat atau pihak-pihak yang tanahnya terambil mempunyai hak untuk memperoleh ganti rugi / imbalan (al-ujrah) yang diambil dari uang baitul maal (kas negara).20 Kalau tidak ada ganti rugi maka pemerintah melakukan kedholiman kepada rakyatnya
Seorang imam/kepala negara berhak untuk mengatur (membuat batasan) penggunaan tanah tertentu dengan alasan yang rasional, logis dan objektif dengan dilandasi semangat merealisasikan kemaslahatan umum بشرط أن لا يضر بكافة المسلمين sebagai tugas pokok kepala negara. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: bahwa kebijakan seorang kepala negara harus berorientasi pada upaya menciptakan kemaslahatan تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebolehan membuat kebijakan hima yang diambil oleh pemerintah adalah untuk kemaslahatan ummat dan sebaliknya kalau kebijakan itu berimplikasi lahirnya madharat maka tidak boleh.21 Salah satu instrumen kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tanah adalah hak imam membuat hima (tanah lindung) untuk kepentingan rakyat banyak.22 Namun demikian seorang imam tidak boleh menentukan kebijakan hima untuk kepentingan dirinya.23 Dasar kebijakan penguasa dalamr pembuatan kebijakan hima adalah terciptanya kemaslahatan manusia (ma lam yudhayyaq ‘ala an-naas).24 Dasar filosofis dari kebijakan pemerintah membuat regulasi tentang harta berangkat dari sebuah kesadaran akan hakikat harta bahwa semua harta itu hakikatnya adalah milik Allah. Berkaitan dengan ini Khalifah Umar ibn Khattab berkata :
فقال عمر المال مال الله والعباد عبادالله
Artinya: Umar berkata “ Semua harta adalah milik Allah dan semua hamba (manusia) hakikatnya juga milik Allah”.25

Ketika seorang imam membuat kebijakan hima’ untuk dirinya sendiri akan dikhawatirkan munculnya penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya dan konsekuensi logisnya adalah akan merugikan orang lain. Dengan kata lain kebijakan hima’ untuk kalangan para pejabat akan melahirkan monopoli kekayaan yang terselubung dengan bingkai dan legitimasi dari pemilik otoritas politik. Monopoli dan oligapoli adalah praktek yang dilarang dalam Islam.
Demikian juga kewenangan imam membuat kebijakan iqtha’ (pemberian lahan) juga harus mempertimbangkan kemaslahatan umum. Oleh karena itu ketika orang yang menerima tanah iqtha tidak digunakan (dikelola) maka seorang imam boleh menarik kembali tanah yang diberikanya. Persoalan yang muncul kemudian adalah bolehkah seorang membatalkan pemberian imam lain ?. Dalam masalah ini mayoritas ulama fiqh membolehkan membatalkan iqtha imam lainya.26 Adapun Level imam yang punya otoritas membuat kebijakan iqtha adalah kepala negara (imam al-a‘dham).27

II. Relasi Individu, Masyarakat dan Negara dalam Pemilikan Tanah

Setiap hak milik pribadi selalu akan bersinggungan dengan berbagai kepentingan dengan pihak lain. Persinggungan kepentingan tersebut bisa mewujud dalam relasi antara individu, individu dengan masyarakat dan individu dengan negara. Titik persinggungan tersebut berkaitan dengan berbagai kepentingan yang timbul dari banyaknya kepentingan seputar kepemilikan individu atas tanah.
Batas-batas hak milik pribadi dan kepemilikan itu menyaratkan tanah itu ditempati selama sebulan atau setahun.28 Hak kepemilikan tanah oleh individu akan menjadi hilang ketika mandat yang diberikan oleh pemerintah tidak bisa digunakan atau dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan fungsi dan tujuan awalnya. Dari konsep ini tampak ada batasan kedaluarsa kepemilikan atas tanah yang dasar pemikiranya adalah ketika tanah tersebut tidak lagi menjadi produktif yang jelas akan mengabaikan fungsi sosial tanah karena tidak ada nilai ekonomis apapun bagi kesejahteraan sosial. Ketentuan waktu kedaluarsa hak kepemilikan seseorang adalah tiga tahun.29 Salah satu hak masyarakat atas kepemilikan individu adalah berkaitan dengan hak penggunaan air oleh ibn sabil / para musafir yang membutuhkan air untuk keperluan hidupnya.30 Oleh karena itulah, maka seorang Imam tidak boleh mengeluarkan kebijakan iqtha kalau berakibat pada menyulitkan masyarakat.31 Kalaupun seorang imam mempunyai otoritas memberi sebidang tanah melalui hak iqtha’ maka pemberian tersebut sesuai kebutuhan, kalau berlebihanan akan mengakibatkan dharar kepada kaum muslimin.32 Contoh lain dari persinggungan hak milik pribadi antara lain pada pengaturan hak atas hak orang lain. Seseorang yang akan membuat rumah misalnya maka setiap rumah haruslah mempunyai pintu atau jendela sendiri. Oleh karena itu dilarang seseorang memanfaatkan jendela (sebagai ventilasi) dari orang lain.33
Dalam Islam, setiap individu mempunyai hak untuk memiliki harta/aset termasuk tanah dan berhak pula untuk mentasharufkanya sesuai dengan dengan keinginan pemilik. Hak milik secara individual memang diakui keberadaanya sebagai hak yang melekat pada setiap individu yang didasarkan pada prinsip hifzd al-maal. Namun demikian, kebebasan individu atas hak miliknya dalam penggunaanya dibatasi oleh hak-hak orang lain. Hak orang lain atas tanah individu mengandaikan akan fungsi social dari tanah.
Dalam bebarapa literatur fiqh diatur beberapa kerangka etika kepemilikan atas tanah, antara lain :
1. Larangan duduk di jalan, karena mengganggu pemakai jalan. Fungsi pokok dari jalan adalah ruang publik di mana setiap orang berhak melintas di atasnya. Berhenti atau duduk di jalan dibolehkan selama tidak mengganggu pengguna jalan.34 Jalan umum (al-thariq al-‘amm) adalah milik umum sehingga tidak boleh seseorang mendirikan tempat untuk berjualan di atasnya atau dijadikan tempat duduk yang akan mengganggu pemakai jalan.35
2. Dilarang seseorang melintas jalan milik orang lain tanpa izinya, karena perbuatan tersebut termasuk ghasab.36 Dalam kitan dengan masalah jalan ini, seseorang tidak boleh membuat pintu atau jendela yang posisinya pas berada di atas jalan tersebut kecuali ada izin dari pemilik jalan. Jalan milik perorangan disebut dengan al-thariq al-khas.37
3. Kelebihan air dan rumput yang dimiliki oleh seseorang hendaknya diberikan kepada orang lain ketika kebutuhan dirinya telah tercukupi. Melarang orang lain untuk mengambil kelebihan air yang oleh seseorang, maka menurut Rasululalah menyebabkan tertutupnya rahmat Allah kepada orang tersebut.38
4. Tidak boleh menyerobot hak orang lain.39 Larangan ini mendasarkan pada hadits Rasulullah :
عن يعلى بن مرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ثم أيما رجل ظلم شبرا من الأرض كلفه الله أن يحفره حتى يبلغ سبع أرضين ثم يطوقه يوم القيامة حتى يفصل بين الناس

Artinya: Dari Ya’la ibn Abdillah bekata: saya mendengar Rasulallah bersabda Barang siapa yang mengambi sebidang tanah dari bumi maka orang tersebut disiksa pada hari kiamat dengan dikalungi tujuh bumi…40

5. Pengaturan berkaitan dengan pepohonan yang yang condong ke rumah tetangga haruslah ada ganti rugi41 . Dalam kaitan dengan masalah ini Rasulullah telah mengatur sebagaimana disebutkan dalam Hadits:

وحدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن عكرمة عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يمنع الرجل جاره أن يضع خشبة على جداره

Artinya: Dari Hammad ibn Salamah dari Ayyub dari Ikrimah dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasulullah melarang seseorang yang menghalangi kepada tetangganya yang pohon/kayunya pada tembok rumah tetangganya.

6. Hak pemilik rumah susun yaitu perumahan yang terdiri dari beberapa lantai Ketika pemilik lantai bawah berkeinginan menjual rumahnya, maka pemilik lantai ats lebih berhak atas lantai bawah. Apabila bangunan lantai bawah roboh yang berdampak pada kerusakan lantai atas, maka apabila robohnya lantai bawah itu karena kesalahan pemilik lantai bawah, maka pemilik lantai bawah berkewajiban menanggung segala kerugian yang diderita pemilik lantai atas.42
7. Setiap orang yang membuka lahan baru (ihya al-mawat) maka pada dirinya melekat dua kewajiban pokok yaitu kewajiban untuk mengelurakan al-‘usyur yaitu pajak 10 % yang disetorkan kepada pemerintah dan kewajiban untuk membuat batas-batas tanahnya (al-hariim)..Kewajiban pasca ihyaul mawat 10% dan perbatasan.43 Kewajiban membayar sejumlah uang ke kas negara oleh pemilik tanah adalah merupaka salah satu bagian dari relasi hak individu dengan kewajiban pada negara. Inilah titik persinggungan antara kepemilikan secara individu dengan kepentingan negara.
8. Setiap pemilik tanah wajib membuat batas-batas atas tanahnya yaitu batas tanah dengan teras, pohon, batas sumur. Pemberian batasan secara jelas dikasudkan untuk meminimalisir lahirnya konflik yang dipicu oleh sengketa perbatasan hak atas tanah.44
III. Model-model Penyelesaian Sengketa Tanah
Persoalan hak kepemilikan atas harta termasuk masalah seputar pertanahan merupakan masalah yang seringkali terjadi di tengah-tengah masyarakat. Akar persoalan sengketa tentang tanah pada umumnya berkaitan dengan hak penggunaan, batas-batas tanah, transaksi dan yang berkaitan dengan persoalan ganti rugi atas tanah. Ruang lingkup persengketaan dilihat dari subjeknya bisa dalam relasi antar individu, individu dengan masyarakat, individu dengan negara dan masyarakat dengan negara.
Berkaitan dengan model penyelesaian sengketa tentang pertanahan dan pengairan antara seorang laki-laki dari suku Quraisy dengan Bani Quraidhah berkaitan dengan masalah pembagian air dengan mengadukan masalahnya kepada Rasulullah. Dari pengaduan ini Rasulullah memberikan keputusan bahwa pembagian air kepada orang lain baru diberikan ketika jumlah air yang dimiliki seseorang telah mencapai tinggi dua mata kaki. Ketika sudah mancapai tinggi dua mata kaki maka pemilik air yang berada di atas baru berkewajiban mengalirkan kepada kelompok orang yang posisinya berada di bawah. Hak atas air didasarkan pada kedekatan tanah yang dimilikinya dengan sumber mata air.
Apabila ada seseorang yang menanami sebidang tanah orang lain dengan tanaman kurma, maka Rasulallah memutuskan bahwa tanah tersebut adalah masih milik pemiliknya, sedangkan pohon kurma itu adalah milik dari orang yang menanam dan kepadanya diminta untuk mengelurkan pohon kurma tresebut dari kebun.45 Dalam pandangan Rasulallah, kepemilikan atas hak milik adalah hak dasar yang harus dijaga. Ketika beliu dihadapkan pada sengketa tentang pertanahan, beliu menyatakan : Sesungguhnya darah dan harta kamu sekalian terlindungi, maka tidak halal bagi seseorang memanfaatkan harta orang lain tanpa izin pemiliknya.46 Perbuatan menanam pepohonan di atas tanah orang lain menurut Rasulallah adalah bagian dari prilaku dhalim.47
Pada zaman Rasulallah pernah terjadi sengketa seputar kebun korma. Hadist diriwayatkan dari Yahya ibn ’Urwah ibn Zubair dari bapaknya bahwasanya ada seorang laki-laki menanami pohon di kebun korma milik orang lain. Kemudian Rasululllah memberikan keputusan atas kasus ini dengan menyatakan bahwa pemilik kebun korma tetap menjadi pemilik korma tersebut dan seorang yang menanam pohon korma diminta untuk mengeluarkan pohon korma tersebut dari kebun.48
Sedangkan berkaitan dengan sengketa pembagian giliran memperoleh air, hal ini pernah terjadi sengketa pada zaman Rasulullah antara seorang laki-laki Quraisy dengan bani Quraidhah yang diadukan kepada Rasul. Kemudian Rasul memberikan keputusan dalam masalah ini dengan dengan pernyataanya sebagai berikut :
فقضي بينهم رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الماء إلى الكعبين لا يحبس الأعلى على الأسفل
Dari Hadits di atas jelas bagimana Rasulullah memberikan keputusan hukum diantara para pihak yang bersengketa bahwasanya batas hak pengairan itu diukur dengan batasan ketika air tingginya sudah mencapai dua mata kaki. Ketika sudah mencapai ukuran dua mata kaki maka tidak ada alasan pemilik air yang berada di atas untuk menahan airnya bagi orang yang mempunyai lahan di bawahnya.49
Berkaitan dengan sengketa masalah hak pengairan ini juga pernah terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khattab antara Adh-Dhahhak ibn Khulaifah dengan Muhammad ibn Maslamah di mana Adh-Dhahhak meminta kepada Muhammad ibn Maslamah untuk diberi jalan aliran air untuk mengairi kebunnya, akan tetapi Muhammad ibn Maslamah menolaknya. Kemudian Umar memerintahkan pada Muhammad ibn Maslamah untuk memberi jalan aliran air kepada Adh-Dhahhak, tetapi Muhammad ibn Maslamah menolaknya. Kemudian Umar berkata kepada Muhammad, apakah pemberian jalan itu membahayakanmu? Muhammad menjawab, tidak. Umar berkata, mengapa anda menolak memberi jalan air ? demi Allah akan saya alirkan air itu sekalipun melalui perutmu.50

Kemudian berkaitan dengan sengketa batas-batas teras rumah dengan jalan milik umum, maka Rasulullah memberikan keputusan bahwa batas antara teras rumah dengan jalan adalah tujuh dira’. Pemberian batas tanah milik dengan jalan dimaksudkan untuk memberikan ruang yang cukup bagi para pengguna jalan sebagai tempat publik. Dengan demikian maka semangat hadits ini adalah perlunya diperhatikan bahwa ada dimensi social yang harus ditunaikan oleh pemilik lahan yaitu mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masyarakat dalam mengakses jalam secara mudah. Bahkan dalam sebuah riwayat Rasulullah mempersilahkan masyarakat untuk menuntut hak-hak social kepada pemilik tanah ketika kewajiban pemilik tanah berupa memberi jalan kepada pengguna jalan tidak dipenuhi. Adapun batas-batas pemberian hak jalan dari tanah adalah 7 dhira.51 Akan tetapi ketika pemilik tanah membuat jalan secara khusus untuk dirinya sendiri, maka orang yang akan melintasi jalan tersebut padahal jalan untuk umum sudah ada, maka orang tersebut haruslah meminta izin dari pemilik jalan.52
Pengaturan tentang batas-batas hak pengairan juga berkaitan dengan aturan pembuatan sumur tempat sumber mata air. Menurut imam Malik seseorang tidak boleh membuat sumur yang mana sumur tersebut berdekatan dengan sumur tetangganya. Menurutnya, kalau pembuatan sumur tersebut betul-betul membahayakan bagi sumur tetangganya, maka pembuatan sumur tesebut dilarang. Rasulullah memberikan batas / jarak antara satu sumur dengan sumur lain dengan berbagi sisinya yaitu empat puluh dzira’.53 Demikian juga seseorang dilarang membuat jamban (kakus) yang sangat berdekatan dengan sumur tetangganya.54
Dari berbagai kasus actual baik yang terjadi pada masa Rasulullah, masa sahabat ataupun pada masa-masa imam mazhab berkaitan dengan sengketa pertanahan tampak bahwa persoalan seputar sengketa tanah merupakan persoalan yang sering terjadi dalam proses kehidupan. Dengan memperhatikan berbagai kasus sebagaimana penulis deskripsikan di atas sangat jelas bagaimana Rasulullah dan kaum salafus shalih telah memberikan panduan teknis bagi penyelesaian masalah pertanahan. Paradigma yang dikembangkan dalam proses penyelesaian masalah tanah adalah menciptakan dan membumikan nilai-nilai kemaslahatan sebagai dasar pijakanya. Pembumian nilai-nilai kemaslahatan adalan inti dari ajaran Islam.
Beberapa panduan teknis penyelesaian masalah sengketa tanah baik dalam relasi personal, atau relasi personal dengan komunal atau relasi komunal dengan negara di samping mempertimbangkan bingkai yuridis juga mempertimbangkan dimensi etis. Perpaduan dimensi yuridis dan etis dalam membuat regulasi pertanahan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan kaum salafus shalih merupakan gambaran penyelesaian masalah tanah secara bermartabat dan terhormat dengan menghindarkan pada eksploitasi atau bahkan mendeskriditkan pihak lain yang bertentangan dengan spirit dasar syari’at Islam yaitu tahqiq al-mashalih al-‘ammah.
F. Kesimpulan

Dalam Islam, kepemilikan tanah oleh seseorang dalam konteks individual dalam relasi sosial secara yuridis diakui, di mana pemilik tanah mempunyai kewenangan untuk menggunakan (tasharruf) sesuai dengan keinginanya. Kewenangan manusia atas kepemilikan harta (proverty right) dalam kaidah hukum Islam dilindungi dalam bingkai hifdzu al-maal sebagai salah satu prinsip al-kulliyat al-khams. Tanah di samping sebagai instrumen ekonomis, juga mempunyai kandungan sosial-humanistik.
Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas harta benda yang lainya dalam konteks yuridis maupun etika sosial haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang di dalamnya juga harus mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat sosial. Kebebasan seseorang atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain baik secara individual maupun kelompok. Dalam konteks ini telah diatur dalam hadis Nabi tentang fungsi-fungsi sosial yang melekat pada hak milik atas tanah dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan orang lain dan public sphare (ruang publik). Dalam kaitan dengan relasi personal dan sosial di tengah-tengah masyarakat, persoalan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya juga harus mempertimbangkan kepentingan orang lain (syarik; orang yang berdampingan) denganya.
Islam memandang negara sebagai institusi yang mengelola masyarakat suatu negara. Atas dasar inilah maka Islam memberikan hak sekaligus kewajiban kepada isntitusi tersebut untuk mengatur relasi antar individu dan individu dengan masyarakat serta hubungan individu, masyarakat dengan negara. Dalam hal pengaturan fungsi-fungsi sosial tanah, pemerintah (imam) mempunyai otoritas untuk membuat regulasi terkait dengan tanah, untuk mengatur dan menata penggunaan tanah untuk menciptakan kemaslahatan umum.
Otoritas pemerintah membuat regulasi pertanahan didasarkan pada hak yang dimiliki oleh pemerintah yaiu hak iqtha yaitu hak memberikan lahan pada pihak lain baik sebagai hak milik atau hak memanfaatkan saja dan hima’ yaitu otoritas untuk menetapkan tempat lindung sebagai public sphare untuk kemaslahatan bersama. Kalaupun pemerintah (imam) akan melakukan pembebasan tanah dengan otoritas iqtha’ yang melekat padanya, maka rakyat atau pihak-pihak yang tanahnya terambil mempunyai hak untuk memperoleh ganti rugi / imbalan (al-ujrah) yang diambil dari uang baitul maal (kas negara) dengan mendasarkan pada nilai kepatutan secara sosial (‘urf) yang diputuskan secara bersama-sama dengan prinsip saling rela.
Seorang imam/kepala negara berhak untuk mengatur (membuat batasan) penggunaan tanah tertentu dengan alasan yang rasional, logis dan objektif dengan dilandasi semangat merealisasikan kemaslahatan umum بشرط أن لا يضر بكافة المسلمين sebagai tugas pokok kepala negara. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: bahwa kebijakan seorang kepala negara harus berorientasi pada upaya menciptakan kemaslahatan تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebolehan membuat kebijakan hima yang diambil oleh pemerintah adalah untuk kemaslahatan ummat dan sebaliknya kalau kebijakan itu berimplikasi lahirnya madharat maka tidak boleh. Salah satu instrumen kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan tanah adalah hak imam membuat hima (tanah lindung) untuk kepentingan rakyat banyak. Namun demikian seorang imam tidak boleh menentukan kebijakan hima untuk kepentingan dirinya. Dasar kebijakan penguasa dalamr pembuatan kebijakan hima adalah terciptanya kemaslahatan manusia (ma lam yudhayyaq ‘ala an-naas). Dasar filosofis dari kebijakan pemerintah membuat regulasi tentang harta berangkat dari sebuah kesadaran akan hakikat harta bahwa semua harta itu hakikatnya adalah milik Allah.












Endnote

Lihat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 17.
2 Dalam kaidah hukum Islam dikenal lima prinsip dasar yang terumuskan dalam konsep al-Kulliyat al-khams yaitu: khifdz al-din (agama) , nafs (jiwa), aql (akal), maal (harta) dan nasl (keturunan).
3 Lihat al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 19.
4Larangan monopoli dalam Islam secara konseptual diqiyaskan dengan larangan menimbun barang (al-ihtikar) berdasarkan hadits :
عن سعيد بن المسيب عن معمر بن عبد الله بن نضلة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم لا يحتكر إلا خاطئ
Lihat, Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 2 (Bairut: Daar al-Fikr, tt) hal. 728.
5 Dirjen Bimas Islam Depag RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal. 12-13.
6 Muhammad Abi Sahl al-Syarakhsyi, Al-Mabsuth, Juz 15 (Bairut: Daar al-Ma’rifah, tt) hal. 55-56.
7 Imam Malik ibn Anas, Al-Mudawwanat al-Kubra, Juz 15, (Bairut: Daar al-Sadr, tt) hal. 197
8 Muhammad ibn Yaziz Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, juz 2, (Bairut: Daar al-Fikr, tt) hal. 833.
9 Abi Hasan al-Mawardi, Kitab Ahkam al-Sulthaniyah, (Bairut: Daar al-Fikr, 1960), hal. 185.
10 Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I, Al-Umm, Juz 4 (Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1393 H), hal. 48. lihat pula, Syams al-Haq al- ‘Adzim, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Juz 8, (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415), hal. 135. Bandingkan dengan As-Shan’ani, Subulus Salam, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt) hal. 83
11 Abdurahman as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadhair, (Indonesia: Maktabah Nur, tt) hal. 83.
12 Abi Hasan al-Mawardi, Kitab. hal. 177-190. Bandingkan dengan, Abu Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhaddzab fi Fiqh Imam Syafi’I juz 1, (Bairut: Daar al-Fikr, tt) hal. 426.
13. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1998), hal. 250.
14 . Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hal. 65.
15. Sujono dan Abdurahman, Metodologi Penelitian, Suatu pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 13.
16 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi. hal. 154.
17.Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal.261.
18. KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Jogjakarta: LkiS, 1994) hal. 231.
19.Lihat Abi Hasan Al-Mawardi, Kitab Ahkam al-Sulthaniyah, (Bairut: Daar al-Fikr, 1960) hal.195-190. Bandingkan dengan, Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Bairut: Daar al-Fikr, tt ) hal. 574-575.
20. Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Juz 5. hal, 339.
21. Ibnu Qudamah, Al-Kaafi. hal. 510.
22. Muhammad Ibn Muflikh al-Maqdisi, Al -Furu’ juz 4. hal. 442. Lihat pula, Muhammad Ibn Muflikh al-Maqdisi, Al-Mubda’ fi Syarh al-Muqni Juz 5, hal. 259.
23.Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Juz 5. hal, 338
24.Muhammad Ibn Muflikh al-Maqdisi, Al-Mubda’ fi Syarh al-Muqni Juz 5, hal. 265.

25 Ibid, hal. 265.
26Ibid, Bandingkan pula dengan, Abi Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’. hal. 208.
27 Ibid, 117. lihat pula, Ibnu Qudamah, Al-Mughni. hal. 462.
28 Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Juz 5. hal, 341.
29 Abi Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’. hal. 108.
30 Ibnu Qudamah, Al-Mughni. hal. 474.
31 Ibid. hal. 463.
32 Sayyidi Ahmad Ad-Dardiri, Asy-Syarh al-Kabir juz 4 (Bairut: Daar al-Fikr, t.tp) hal. 68.
33 Ibn Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8 (Bairut: Daar al-Afaq al-Jadidah, t.tp) hal. 241.
34 Abi Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’. hal. 104.
35 Muhammad Kamaludin Imam, Nadhariyat al-Fiqh fi Al-Islamy (Bairut: Jamiat al-Iskandariyat, t.tp) hal. 447.
36 Ibrahim ibn Abi al-Yamni Muhammad al-Hanafi, Lisanul Hukkam fi Marifatil Ahkam juz 1 (Kairo: Al-Babi al-Halabi, 1973) hal. 305-306.
37 Muhammad Kamaludin Imam, Nadhariyat. hal. 446.
38 Ibnu Qudamah, Al-Kaafi. hal. 511.
39 Muhammad Kamaludin Imam, Nadhariyat. hal. 444. Bandingkan dengan, Muhammad ibn Ahmad al-Minhaji, Jawahirul Uqud wa Mu’inul Quddhat wal Muwaqqiina wa Syuhud (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996) hal. 238.
40 Hadis riwayat Ibn Hibban dari Ya’la ibn Murrah dalam Shahih Ibn Hibban.
41Burhanudin Abi Wafa’, Tabshiratul Hukkam (Bairut: Daar al-Fikr, t.tp) hal. 252.
42Muhammad Kamaludin Imam, Nadhariyat. hal. 443-447.
43 Alauddin al-Kissai, Badai’u Ash-Shana’I fi Tartib Asy-Syara’Ijuz 6 (Bairut: Daar al-Kutub al-Arabi, t.tp) hal. 195. Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra juz 6 (Makkah Mukarramah, Maktabah Daar al-Baaz, t.tp) hal. 165-166.
44 Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 165-166.

45 Ibnu Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla. hal. 236.
46 Ibnu Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8. hal. 240.
47Abu Daud Al-Sijistani, Sunan Abi Daud, 179.
48 Ibnu Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8. hal. 236. lihat pula, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari. hal. 19.
49 Abu Daus Al-Sijistani, Sunan Abi Daud juz 3. hal. 316.
50 Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 156. Bandingkan dengan, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul. hal. 111.
51 Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 154.
52 Ibrahim ibn Abi al-Yamni Muhammad al-Hanafi, Lisanul Hukkam. hal. 306.
53Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 155.
54 Malik ibn Anas, Al-Mudawanatul Kubra juz 15 (Bairut: Daar al-Shadr, t.tp) hal. 195.























DAFTAR PUSTKA
Abi Hasan al-Mawardi, Kitab Ahkam al-Sulthaniyah, (Bairut: Daar al-Fikr, 1960)
As-Shan’ani, Subulus Salam, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt)
Abdurahman as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadhair, (Indonesia:Maktabah Nur, tt)
Abu Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhaddzab fi Fiqh Imam Syafi’I juz 1, (Bairut: Daar al-Fikr, tt)
Dirjen Bimas Islam Depag RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003)
Imam Malik ibn Anas, Al-Mudawwanat al-Kubra, Juz 15, (Bairut: Daar al-Sadr,
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 2 (Bairut: Daar al-Fikr, tt)
Idris Asy-Syafi’I, Al-Umm, Juz 4 (Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1393 H)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1998)
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2001
Sujono dan Abdurahman, Metodologi Penelitian, Suatu pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998).
Ibn Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8 (Bairut: Daar al-Afaq al-Jadidah, t.tp)
Ibrahim ibn Abi al-Yamni Muhammad al-Hanafi, Lisanul Hukkam.
Muhammad Abi Sahl al-Syarakhsyi, Al-Mabsuth, Juz 15 (Bairut: Daar al-Ma’rifah,tt)
Muhammad ibn Yaziz Abu Abdillah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, juz 2, (Bairut: Daar al-Fikr, tt)
KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Jogjakarta: LkiS, 1994)
Syams al-Haq al- ‘Adzim, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Juz 8, (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415)
Muhammad Ibn Muflikh al-Maqdisi, Al-Mubda’ fi Syarh al-Muqni Juz
Ibn Hazm Adh-Dhahiri, Al-Muhalla juz 8 (Bairut: Daar al-Afaq al-Jadidah, t.tp)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari Juz 5 (Bairut: Daar al-Ma’rifah, 1379 H)
Ibrahim ibn Abi al-Yamni Muhammad al-Hanafi, Lisanul Hukkam fi Ma’rifatil Ahkam (Kairo: Bab a-Halabi, 1973)
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Bairut: Daar al-Fikr, tt )
Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Juz 5 (Kairo: Musthafa bab al-Halabi wa Auladuhu, t.tp)
Sayyidi Ahmad Ad-Dardiri, Asy-Syarh al-Kabir juz 4 (Bairut: Daar al-Fikr, t.tp)
Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunan, hal. 155.
Malik ibn Anas, Al-Mudawanatul Kubra juz 15 (Bairut: Daar al-Shadr, t.tp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar